Beranda | Artikel
50 Faidah dari Kisah Luqman Al-Hakîm(3)
Jumat, 23 Desember 2022

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL-HAKIM[1]

Oleh
Prof. Dr. ‘Abdurrazzâq bin ‘Abdil-Muhsin Al-‘Abbâd

وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ١٥يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ ١٦يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ ١٧وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ ١٨وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ  ١٩

  1. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembali kalian, maka Ku-beritakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.
  2. (Luqmân berkata), “Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu, di langit atau di dalam bumi, niscaya Allâh akan mendatangkannya (balasannya). Sesungguhnya Allâh Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
  3. “Hai anakku! Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu! Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allâh ).
  4. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
  5. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai [Luqmân/31:15-19]

Faidah Kedua Puluh Lima
(Pada kisah Luqmân terdapat penjelasan tentang) cara bermuamalah dengan ayah dan ibu jika keduanya orang musyrik atau fasiq. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allâh Azza wa Jalla :

وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik [Luqmân/31:15]

Keduanya tidak boleh ditaati, apabila mereka meminta anaknya untuk berbuat syirik atau melakukan perbuatan maksiat. Namun, pada saat yang bersamaan dia harus tetap memperlakukan mereka dengan baik.

Faidah Kedua Puluh Enam
(Pada kisah Luqmân terdapat penjelasan tentang) kesempurnaan syariat dalam seruannya untuk menjaga perbuatan baik dan akhlak mulia. Ini sangat jelas, meskipun sang ayah dan ibu seorang musyrik, kemudian mereka mengajak anaknya untuk berbuat syirik, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖ

Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik

Perlakuan seperti ini diberikan kepada kedua orang tua yang musyrik. Lalu bagaimana dengan perlakuan (anak) kepada kedua orang tuanya yang beriman, tidak menyuruh anaknya kecuali kebaikan dan tidak pernah mengajak kecuali kepada ketakwaan dan kebaikan ? (Tentu perlakuan baik itu lebih diwajibkan lagi-red).

Faidah Kedua Puluh Tujuh
Tidak ada kewajiban taat (tidak boleh taat) kepada seorang makhluk pun dalam hal bermaksiat kepada al-Khâliq (Sang Pencipta). Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.

Faidah Kedua Puluh Delapan
Terkarang orang-orang sesat dan pengikut kebatilan itu bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk menyebarkan kebatilan dan menyerukan kesesatan mereka. Ini nampak jelas pada potongan ayat :

وَاِنْ جَاهَدٰكَ 

 Dan jika keduanya memaksamu.

Sebaliknya, terkadang sebagian orang-orang yang berada dalam haq atau kebenaran bermalas-malas dan bahkan terkadang merasa putus asa dalam mendakwahkan kebenaran yang mereka miliki.

Faidah Kedua Puluh Sembilan
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) perbedaan antara tidak taat dengan perbuatan durhaka. Sebagian orang mencampuradukkan dua hal ini lalu menganggapnya sama. Padahal yang benar, keduanya berbeda. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَلَا تُطِعْهُمَا

Maka janganlah kamu mengikuti (menaati) keduanya.

Allâh tidak berkata, “Durhakalah kepada keduanya!’

Faidah Ketiga Puluh
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) keutamaan para sahabat dan orang-orang terbaik umat ini. Ini bisa dipetik dari firman Allâh Azza wa Jalla :

وَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ

 Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.

Apabila kita memperhatikan keadaan para sahabat dan orang-orang terbaik umat ini, kita akan dapati mereka adalah orang-orang yang selalu kembali kepada Allâh Azza wa Jalla .

Oleh karena itu, kita dapati sebagian ahli tafsir menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya  “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” dengan  Abu Bakr. Sebagian lagi menafsirkannya dengan para sahabat. Semua penafsiran ini adalah penafsiran dengan menyebutkan sebagian saja dari yang termasuk di dalamnya atau menyebutkan yang paling utama saja.

Ini menunjukkan kepada kita keutamaan para sahabat dan orang-orang terbaik umat ini.Sudah sepantasnya, kita mengenal dan mengikuti jalan orang-orang terbaik dan bisa dijadikan suri tauladan itu, serta berhati-hati dari mengikuti jalan selain jalan kaum Mukminin.

وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. [an-Nisâ’/4 : 115]

Faidah Ketiga Puluh Satu
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) pentingnya memilih teman. Seorang Mukmin tidaklah pantas untuk berteman dengan semua yang dia inginkan. Betapa banyak keburukan yang menimpa seseorang akibat teman dekatnya.  Seorang Mukmin dituntut untuk tidak berteman dengan semua orang. Dia hanya bergaul dengan orang baik, memiliki keutamaan dan kecerdasan. Ini terpahami dari firman Allâh Azza wa Jalla :

وَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ

Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.

Faidah Ketiga Puluh Dua
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) keutamaan inâbah (kembali atau taubat) kepada Allâh Azza wa Jalla dan kedudukan orang-orang yang melakukannya. Ini tampak pada firman Allâh Azza wa Jalla :

وَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ

Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku

Allâh menjadikan jalan orang-orang yang kembali kepada-Nya itu sebagai jalan yang (harus) diikuti.

Inâbah (kembali) kepada Allâh mencakup empat hal, yaitu: cinta, tunduk, menghadap kepada-Nya dan berpaling dari selain-Nya.

Ibnul-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak berhak dikatakan al-munîb (orang yang kembali), kecuali setelah terkumpul padanya empat hal ini. Penafsiran para salaf untuk lafaz ini tidak lepas dari makna-makna tersebut.”[2]

Faidah Ketiga Puluh Tiga
Sesungguhnya semua amalan para hamba itu tercatat dan mereka akan mengetahuinya di hari kiamat.

ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Kemudian hanya kepada-Kulah kembali kalian, maka Ku-beritakan kepada kalian apa yang telah kamu kerjakan

Faidah Ketiga Puluh Empat
Sesungguhnya kesyirikan itu tidak ada dalil yang mendukungnya dan para pelakunya tidak memiliki hujjah dalam perbuatan syirik mereka. Faidah ini diambil dari firman Allâh :

وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ 

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu.

Ini serupa dengan  firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ يَّدْعُ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهٗ بِهٖۙ 

Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allâh , padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu.” [al-Mu’minûn/23: 117]

Kesyirikan seperti apapun jenis dan sifatnya, maka tidak ada dalil atau hujjah untuknya. Inilah sifat yang melekat pada perbuatan syirik, pada setiap keadaan dan dalam semua bentuknya.

Faidah Ketiga Puluh Lima
(Pada ayat ini terdapat penjelasan) bahwa dalam mendakwahi atau mengajak manusia menuju kebaikan dan dalam melarang manusia perbuatan buruk perlu ada penekanan dan pengulangan agar kembali kepada Allâh juga pentingnya mengingatkan manusia agar menyadari bahwa Allâh akan membalas semua yang mereka lakukan dalam kehidupan ini. Seyogyanya, para dâ’i memperhatikan hal ini ketika berdakwah.

Karena pentingnya penekanan ini, maka dalam kisah Luqmân terdapat pengulangan (sebanyak dua kali), yaitu pada firman Allâh Azza wa Jalla : (إَلَيَّ الْمَصِيْرُ)

“Kepada-Kulah tempat kembali (kalian).”

Dan firman-Nya setelah itu: { إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ }

(Kepada-Kulah kembali kalian)

Perkara ini perlu diulang berkali-kali, supaya benar-benar tertanam dalam pikiran manusia, bahwa mereka akan menghadap Allâh Azza wa Jalla dan Allâh Azza wa Jalla akan membalas amalan-amalan yang telah mereka kerjakan di kehidupan ini. Ini penting agar mereka benar-benar melakukan persiapannya dan siap menghadapi yaumul-ma’âd.

Faidah Ketiga Puluh Enam
(Pada ayat selanjutnya terdapat penjelasan tentang) ilmu atau pengetahuan Allâh Azza wa Jalla yang meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang tidak diketahui oleh Allâh Azza wa Jalla , baik yang berada di bumi maupun yang ada di langit. (Allâh Azza wa Jalla berfirman) :

يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ

 (Luqmân berkata): “Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu, di langit atau di dalam bumi, niscaya Allâh akan mendatangkannya (balasannya). Sesungguhnya Allâh Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [Luqmân/31:16]

Faidah Ketiga Puluh Tujuh
(Pada ayat di atas terdapat penjelasan tentang) pengaruh keimanan kepada nama-nama Allâh dan sifat-sifat-Nya terhadap keshalehan hamba dan kesucian amalan-amalannya. Seorang hamba yang lebih mengenal Rabb-nya, maka dia akan semakin giat beribadah dan semakin jauh dari perbuatan maksiat. Dan Luqmân mengulang-ulang penyebutan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla .

Faidah Ketiga Puluh Delapan
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) pentingnya mendidik anak agar merasa selalu diawasi oleh Allâh Azza wa Jalla . Apabila kita mengatakan kepada anak, “Janganlah kamu lakukan ini!”, maka janganlah kita jadikan dirinya merasa diawasi oleh kita. Tetapi arahkanlah, agar dia merasa selalu diawasi oleh Allâh dalam amalan-amalannya. Misalnya, kita mengatakan, “Wahai anakku ! Shalat-lah dan jauhilah perbuatan haram! Sesungguhnya Allâh melihat dan mengawasimu. Tidak ada satu pun perbuatanmu yang tidak diketahui oleh Allâh Azza wa Jalla . Wahai anakku, seandainya engkau melakukan kesalahan kecil, dan kesalahan ini berada dalam batu yang bisu, di langit atau di dasar bumi yang terdalam, maka Allâh akan mendatangkan balasannya di hari kiamat. Hati-hatilah wahai anakku! Hendaklah kamu merasalah selalu dalam pengawasan Allâh Azza wa Jalla .”

Betapa besar manfaat ucapan ini dalam mendidik anak-anak.

Faidah Ketiga Puluh Sembilan
Sesungguhnnya timbangan di hari kiamat menggunakan timbangan yang dapat mengukur berat dzarrah (atom/bagian terkecil dari benda).

(Allâh Azza wa Jalla berfirman) :

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ ٧ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ  ٨  

Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula  [az-Zalzalah/99:7-8]

Ini dipetik dari firman Allâh Azza wa Jalla :

اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ

Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi.”

Faidah Keempat Puluh
Sesungguhnya kezhaliman tidak akan lenyap meskipun hanya sedikit. Setiap kezhaliman akan didatangkan balasannya di hari kiamat, meskipun perkara yang sedikit dan yang remeh. Oleh karena itu, sebagian ahli tafsir menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :

اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ

Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi

dengan kezhaliman meskipun kecil sekali, maka Allâh Azza wa Jalla akan mendatangkan balasannya.

Faidah Keempat Puluh Satu
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) iman kepada dua nama Allâh , yaitu: al-Lathîf dan al-Khabîr. Kedua nama ini berulang kali digabungkan dalam beberapa ayat al-Qur’ân al-Karîm.

Nama al-Khabîr , kandungan maknanya kembali kepada ilmu atau pengetahuan terhadap hal-hal samar atau tersembunyi, yang paling halus dan sangat kecil serta sangat tersembunyi. Tentunya, untuk hal-hal yang lebih terlihat dan lebih jelas pasti Allâh lebih mengetahuinya.

Adapun nama al-Lathîf, dia memiliki dua makna:

  • Pertama, semakna dengan al-Khabîr.
  • Kedua, artinya Yang memberikan kemaslahatan dan kebaikan kepada para hamba dan  para wali-Nya dengan jalan-jalan yang tidak mereka rasakan.

Faidah Keempat Puluh Dua
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) tingginya kedudukan shalat dan urgensi mengerjakannya, dan (perlunya) mendidik anak kecil agar menjaga shalat.

Shalat termasuk kewajiban yang paling agung dan fardhu yang paling besar yang diwajibkan oleh Allâh kepada para hamba-Nya.

Shalat adalah tiang agama dan rukun terpenting setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Shalat adalah penghubung antara hamba dan Rabb-nya. Shalat adalah amalan hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat. Apabila shalat-nya bagus, maka seluruh amalannya bagus. Apabila shalat-nya buruk, maka seluruh amalannya menjadi buruk.

Shalat adalah pembeda antara seorang Muslim dengan kafir. Mendirikan shalat adalah tanda keimanan, sedangkan meninggalkannya adalah perbuatan kufur dan melampaui batas.

Tidak dianggap beragama (Islam) orang yang tidak mengerjakan shalat. Dan tidak ada bagian sedikitpun dalam Islam untuk orang yang meninggalkan shalat.

Barangsiapa menjaga shalatnya, maka dia akan memiliki cahaya di hati, wajah, kuburnya dan di hari hasyr (dikumpulkannya semua manusia). Dia akan mendapatkan keselamatan di hari kiamat dan dikumpulkan bersama orang-orang yang diberi kenikmatan kepada mereka dari kalangan para nabi, para shiddîq (orang yang sangat membenarkan), orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Barangsiapa tidak menjaganya, maka dia tidak akan memiliki cahaya, petunjuk dan keselamatan di hari kiamat. Dan dia akan dikumpulkan bersama Fir’aun, Hâmân, Qârûn dan Ubay bin Khalaf. Wal-‘iyâdzu billâh.

يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ 

Hai anakku! Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu! Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allâh ). [Luqmân/31: 17]

Faidah Keempat Puluh Tiga
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang upaya) melatih anak-anak untuk ber-amr bil-ma’ruf (mengajak kepada kebaikan) dan ber-nahy ‘anil-munkar (melarang dari kemungkaran) sejak kecil. Ini akan bermanfaat untuk mereka dan juga orang lain. Karena seorang anak, jika sejak kecil tumbuh sebagai seorang dâ’i (juru dakwah) yang mengajak kepada kebaikan, maka dia sendiri akan mendapatkan manfaatnya, begitu juga orang lain. Faidah yang akan dipetik si anak dari dakwahnya yaitu dia akan terbentengi dari ajakan orang lain untuk melakukan kemungkaran. Orang dahulu mengatakan, “Jika engkau tidak mendakwahi (orang lain), maka kamulah yang akan didakwahi.”

Apabila seorang anak sudah menjadi seorang  dâ’i menuju kepada kebaikan, maka ini sekaligus menjadi perisai dirinya dari para dâ’i yang mengajak kepada keburukan. Karena orang-orang yang mengajak kepada keburukan itu menyadari bahwa mereka tidak akan mampu menaklukkan para da’i yang bersungguh-sungguh mengajak manusia kepada kebaikan.

Sedangkan manfaat yang dirasakan oleh lain yaitu mereka mungkin bisa mendapatkan petunjuk karenanya dan tentu akan menambah timbangan kebaikannya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

Seandainya Allâh memberi petunjuk kepada seseorang karena usahamu, maka itu lebih baik bagimu, daripada engkau memiliki onta merah.”[3]

Faidah Keempat Puluh Empat
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) wasiat untuk bersabar, terutama untuk para dâ’i (juru dakwah) ilallâh dan orang-orang yang mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Posisi mereka yang seperti itu membutuhkan kesabaran yang besar.

وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ 

Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu! Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allâh )  [Luqmân/31: 17]

Faidah Keempat Puluh Lima
Sesungguhnya tidak ada yang tergerak hatinya untuk mengerjakan hal-hal yang wajib kecuali orang-orang yang berjiwa besar.

Faidah Keempat Puluh Enam

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

 Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. [Luqmân /31: 18]

(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) larangan bangga dan sombong. Tentang firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ 

Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Ibnu Katsir mengatakan, “Mukhtâl artinya kagum terhadap diri sendiri, sedangkan fakhûr artinya kagum terhadap diri dan  merasa lebih dari orang lain.”[4]

Faidah Keempat Puluh Tujuh

وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ

 Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. [Luqmân/31: 19]

(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) dakwah agar bersikap pertengahan dan lurus.

Faidah Keempat Puluh Delapan
(Pada ayat kedelapan belas terdapat) penetapan adanya sifat mahabbah (cinta) untuk Allâh . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ 

Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Faidah Keempat Puluh Sembilan
Islam menyerukan untuk berakhlak mulia dan melarang dari akhlak yang buruk dan tercela.

Faidah Kelima Puluh
Pentingnya membuat permisalan ketika mengajar. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ

Lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai. [Luqmân/31: 19]

Firman Allâh Azza wa Jalla di atas mengandung permisalan yang sangat tinggi. Seandainya meninggikan suara pada hal-hal yang tidak diperlukan itu mengandung faidah, tentulah suara keras dan terburuk itu tidak dikhususkan pada hewan yang terkenal buruk dan bodoh. (Namun karena tidak ada faidahnya dan tidak disukai manusia, maka disamakan dengan suara keledai yang merupakan suara terburuk dan tidak disukai manusia-red)

Ini adalah sebagian faidah yang bisa dipetik dari beberapa ayat yang penuh berkah ini. Ringkas kata, sesungguhnya wasiat-wasiat yang disampaikan Luqmân kepada anaknya mengandung beberapa induk hikmah, dan masing-masing manarik hikmah lain yang belum disebutkan.

Setiap wasiat disertai dengan sesuatu yang bisa memotivasi untuk melakukannya, jika wasiat itu berisi perintah; Serta bisa memotivasi untuk meninggalkannya, jika wasiat itu berupa larangan.

Ini semua menunjukkan atas apa-apa yang telah kami sebutkan ketika menafsirkan arti ‘hikmah’. Sesungguhnya dia adalah ilmu tentang hukum, hikmah-hikmah dan keselarasannya.

  1. Beliau memerintahkan anaknya untuk menjaga pondasi agama yaitu tauhid dan melarangnya dari perbuatan syirik dan beliau menjelaskan tentang kenapa syirik harus ditinggalkan.
  2. Beliau rahimahullah juga memerintahkan anaknya agar berbakti kepada kedua orang tua dan menjelaskan sebab-sebab yang mengharuskannya untuk berbakti. Beliau juga memerintahkan anaknya untuk bersyukur kepada Allâh dan bersyukur kepada kedua orang tuanya. Kemudian beliau menyebutkan batasan kewajiban taat kepada kedua orang tua yaitu selama mereka tidak menyuruh untuk melakukan perbuatan maksiat. Meskipun demikian, sang anak tetap tidak boleh durhaka kepada mereka, tetapi harus tetap berbuat baik kepada mereka berdua, meskipun sang anak tidak mematuhi mereka jika mereka memaksa untuk berbuat syirik.
  3. Beliau memerintahkan anaknya agar terus merasa diawasi oleh Allâh Azza wa Jalla dan menakut-nakutinya dengan mengingatkannya tentang saat harus menghadap-Nya, karena tidak perbuatan baik atau buruk, kecil atau besar yang tertinggal, semuanya akan Allâh datangkan balasannya.
  4. Beliau melarang anaknya untuk berlaku sombong dan memerintahkannya untuk ber-tawâdhu’ (rendah hati). Beliau melarangnya dari perbuatan angkuh, congkak dan sombong.
  5. Beliau memerintahkan anaknya untuk tenang dalam bergerak dan bersuara serta melarangnya untuk melakukan sebaliknya.
  6. Beliau memerintahkan untuk mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, mengerjakan shalat dan bersabar, yang keduanya menyebabkan segala perkara menjadi mudah, sebagaimana yang difirmankan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Sungguh, orang yang mewasiatkan wasiat-wasiat ini adalah orang yang diberi kekhususan dalam hikmah dan beliau terkenal dengan hikmah tersebut. Oleh karena itu, di antara karunia Allâh Azza wa Jalla kepada seluruh hambanya, Allâh menceritakan kepada mereka sebagian hikmah Luqmân, sehingga hal ini menjadi teladan yang baik untuk mereka.[5]

Saya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan semua semua nama-Nya yang maha indah dan semua sifat-Nya yang maha tinggi agar agar Allâh Azza wa Jalla memberikan manfaat dengan ilmu yang telah Allâh Azza wa Jalla ajarkan kepada kita. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan apa yang telah kita pelajari sebagai penolong untuk kita dan justru bukan menjadi pencelaka kita. Dan mudah-mudahan Allâh memberikan anugerah kepada kita ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh.

Saya memohon kepada Allâh agar membalas Luqmân Al-Hakîm sebaik-baik balasan dan memberikan  maghfirah buat kita dan dia, begitu pula kaum Muslimin dan Muslimat, kaum Mukminin dan Mukminat, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.

Wallâhu ta’âla a’lam washallallâhu wa sallama ‘alâ nabiyyinâ Muhammadin wa ‘alâ âlihi wa shahbihî ajma’în.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari buku beliau ‘Fawâidu Mustanbathah min Qishshati Luqmân al-Hakîm’ oleh Abu Ahmad Said Yai. Di akhir buku ini beliau berkata, “Asal dari tulisan ini adalah sebuah ceramah yang saya sampaikan di Komplek al-Haramain asy-Syarîfain, kota Hâil, pada hari Rabu, tanggal 28 Muharram 1426 H. Ceramah ini kemudian diketik dari kaset dan saya lakukan sedikit pengeditan. Saya lebih memilih penulisannya tetap seperti ceramah tersebut. Hanya Allah-lah yang memberi taufîq.”
[2] Madârijus-Sâlikîn I/434.
[3] HR al-Bukhâri no. 3009, 3701 dan 4210 dari hadîts Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu .
[4] Tafsîr Ibni Katsîr (VI/339).
[5] Tafsîr Ibni Sa’di hlm. 762.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/69422-50-faidah-dari-kisah-luqman-al-hakim3.html